Pertama Suharto Memimpin Indonesia Berhadapan Kenyataan Mengerikan - Tidak ada satu negara di muka bumi ini yang memiliki begitu banyak perbedaan seperti Indonesia. Sebuah negara yang terdiri dari lebih kurang 17.538 pulau, 184 juta penduduk, memiliki 3 waktu yang berbeda, 200 bahasa (termasuk sub-sub bahasa) dengan bentangan sepanjang 4.500 kilometer, sama dengan jarak Los Engles - Puerto Rico, sepanjang London - Kairo, dengan lima agma.
Negara yang pernah membuat bingung Alvin Toffler, karena memiliki 4 peradaban sekaligus peradaban primitif, peradaban pertanian, peradaban industri, dan peradaban informasi. Negara berdaulat yang baru merdeka di abad ke-20 ini mempunyai seribu kemungkinan untuk hancur berantakan. Tetapi, dalam usianya yang ke-50 tahun 1995, justru Republik Indonesia telah menapaki langkah untuk siap tinggal landas dalam era pembangunannya.
Ini adalah negeri yang dibangun dengan doa, darah, dan air mata. Bukan warisan penjajah. Dalam kebhinekaannya rakyat bangkit bersama dalam perasaan senasib-sepenanggungan. Keberanian Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan adalah asset yang tak ternilai.
Tetapi itu bukan satu-satunya modal untuk membangun sebuah bangsa. Perjalanan sejak 1945 hingga 1965 diwarnai oleh tercabik-cabiknya bangsa oleh bergolaknya kepentingan golongan dan pribadi di atas kepentingan bersama. Dilatarbelakangi rendahnya pertumbuhan ekonomi dan kurangnya kedewasaan dalam budaya politik, maka pembangunan bangsa berujung kepada pengkhianatan G 30 S/PKI pada tanggal 30 September 1965 oleh kelompok Komunis.
Ketika pertama kali memimpin Indonesia, Pak Harto berhadapan dengan kenyataan yang mengerikan: bangsa yang tercabik secara politik dan ideologi, 60% rakyat hidup di bawah garis kemiskinan, pinjaman US$2.25 milyar (sepertiga dari Uni Soviet), intlasi 500%, harga beras naik 900%, defisit anggaran belanja mencapai 300% dan tingkat pertumbuhan penduduk 10%.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah dan memburuknya kepercayaan luar negeri, Indonesia adalah the impossible dream. Tetapi jika melihat wajah Indonesia saat ini, yang ada justru the possible dream.” Bahkan pengamat Indonesia yang cukup kritis seperti R William Liddle pun mengakui keberhasilan Indonesia, bahwa:
Diantara negeri-negeri padat penduduk dan kaya minyak, tidak satu pun pemerintahannya yang lebih berhasil secara ekonomi selain Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto.
Di tahun I995 diperkirakan jumlah penduduk yang berada di bawah garis keriiiskman sekitar 14%, tnllasi di bawah 2 dijit, pertumbuhan penduduk 2%, pertumbuhan ekonomi rata rata 7%, telah bersatunya rakyat dalam satu naungan ideologi Pancasila dan kepercayaan luar negeri yang begitu tinggi.
Sementara itu, pendapatan perkapita US$ 1.000 dengan menggunakan metode PDB Nominal atau setara dengan US$ 4.000 dengan metode Purchasing Power Parity. Memang hutang Indonesia saat ini mendekati angka US$ 100 milyar. Angka Yang membuat Meksiko ditalak bangkrut. tetapi tidak demikian dengan Indonesia.
Karena ada satu perbedaan yang cukup mendasar. Di era Orde Lama. sebagian besar dana untuk membiayai pembangunan proyek-proyek mercu suar dan pembiayaan anggaran rutin. lni dihindari oleh pemerintah Orde Baru. lde Pak Harto adalah, agar setiap hutang dipergunakan untuk membangun. tidak untuk konsumsi, apalagi untuk proyek mercu suar.”
Presiden Soeharto adalah figur utama Indonesia sejak Orde Baru lahir hingga Indonesia memasuki abad 21. Bukan saja karena berhasil membawa Indonesia ke era yang lebih sejahtera lahir dan batin, tetapi juga membawa Indonesia menjadi sebuah negara yang tidak bisa dikesampingkan dalam pergaulan internasional.
Terpilihnya Pak Harto sebagai Ketua Gerakan Non-Blok (1992), dipilihnya lndonesia sebagai tuan rumah Pertemuan Kepala-Kepala negara APEC (1994), dan sejumlah misi perdamaian mulai kawasan semenanjung Asia Tenggara, hingga konflik Balkan adalah fakta obyektif.
Pak Harto adalah figur pimpinan puncak yang berhasil menciptakan sebuah Sistem politik yang lebih mapan dari sebuah sistem politik yang begitu rentan terhadap setiap perubahan sosial-politik-ekonomi, baik dari dalam maupun luar.
Ini bukan pekerjaan sederhana. Tidak banyak negara baru seberhasil seperti Indonesia. Begitu banyak negara jatuh dan sebagian besar tidak mampu bangun lagi di dalam mempertahankan kehidupan bersama. Mulai negara-negara Blok Timur, negara-negara di benua hitam Afrika, kawasan bergolak di ujung semenanjung Asia Tenggara, hingga negara-negara di kawasan Amerika Latin.
Titik tumpu keberhasilan Pak Harto tidak saja diawali dari kesadaran untuk menciptakan landasan tertib politik”“) di atas pembangunan ekonomi, tetapi juga sebuah konsep besar tentang "Manajemen Republik Indonesia", yang berhasil digagas,dirumuskan,dan diterapkan.
Manajemen Presiden Soeharto. demikian buku ini mengambil judul. berubah dari judul sebelumnya Manajemen Gaya Pak Harto, merupakan pengakuan bahwa Manajemen Presiden Soeharto bukan hanya "gaya" atau management as an an. tetapi karena manajemen Pak Harto juga berlandaskan ilmu manajemen modern atau management as a science.
Manajemen yang universal dan up to date. Meski tidak memiliki pendidikan formal, tetapi Pak Harto dapat meletakkan diri sebagai seorang praktisi manajemen yang handal. lui antara lain dikemukakan oleh Menparpostel Joop Ave dan Tanri Abeng. Ada beberapa nama yang diberikan oleh narasumber dari buku ini akan manajemen khas dari Pak Harto.
Menteri Koperasi PPK Subiakto Tjakrawerdaja misalnya menyebutnya sebagai Manajemen Kerakyatan, atau Panglima ABRI Jenderal TNI Feisal Tanjung menyebut sebagai Manajemen Kekeluargaan. Apapun nama spesies dari genus Manajemen Pak Harto, yang pasti ia mencermmkan sebuah rumusan yang mewakili sistem manajemen yang paling sesuai dan applicable untuk memenej Indonesia di era Orde Baru.
Pak Harto. seperti uraian mantan Menaker Drs. Cosmas Batubara. juga menerapkan manajemen modern, di dalam arti melaksanakan empat kegiatan kunci dari manajemen universal, yaitu POAC. Planning, Organizing, Actuating, Controlling. Perencanaan (planning) dilaksanakan dalam pelbagai tingkat mulai dari penahapan pembangunan jangka panjang (PJPT, 25 tahun), jangka menengah (Pelita. 5 tahun), dan jangka pendek (GBHN, satu tahun).
Pengorganisasian (organizing) dilakukan sejak tahap perekrutan sumber daya manusia hingga penataan struktur organisasi yang akan dibahas kemudian. Pewujudnyataan (aciuaimg) dimulai sejak tahap pengambilan keputusan hingga pelaksanaan pembangunan di lapangan. Sementara kontrol (controlling) dilakukan selain untuk menjaga agar hasil tidak jauh berbeda dengan perencanaan, juga untuk mendapatkan analisa karya.
Di dalam manajemen Pak Harto ternyata salah satu kuneinya adalah desentralisasi pelaksanaan gagasan pembangunan di tingkat menteri yang sangat besar. Bukan sentralisasi. Ini tidak begitu menyimpang dari gagasan manajemen timur yang lebih menekankan kepada unsur kepercayaan dibanding unsur pengawasan yang notabene menjadi kata kunci manajemen barat.
Ini yang jarang diketahui publik, tak terkecuali pemerhati manajemen. Besarnya pendelegasian ini mengandung beberapa aspek penting. Pertama ia bisa berlaku sebagai Sistem pemberdayaan (empowen'ng) sumber daya manusia di dalam manajemen. Kedua wujud nyata adanya unsur demokrasi di dalam manajemen.
Ketiga, sesuai dengan kompleksnya tantangan yang dihadapi organisasi dalam lingkungan seperti ini struktur yang lebih terdesentralisir lebih menguntungkan dibanding yang sangat sentralistik. Namun, aspek keempat, ia juga mengundang resiko apabila sumber daya manusia yang direkrut oleh manajemen tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan.
Jika demikian, maka struktur organisasi akan tidak berfungsi maksimal Akibatnya pimpinan puncak akan "turun tangan" ikut membenahi bagian struktur organisasi yang tidak berjalan. Secara simultan akan beraktbat dalam dtslokasi fungsi organisasi.
Unsur lain yang berkait dengan hal ini adalah komunikasi Di dalam setiap organisasi maka komunikasi ibarat katalisator bagi berlangsungnya Sistem tersebut. Dari 17 menteri yang menjadi narasumber, rata-rata mengemukakan melakukan komunikasi tatap muka langsung (dalam bentuk menghadap langsung) kepada Presiden satu kali dalam sebulan.
Itu pun biasanya dilakukan oleh menteri koordinator dan menteri senior atau yang memimpin bidang-bidang yang vital. Yang lain menghadap kalau ada masalah saja. Ini juga mencerminkan betapa besar desentralisasi dalam kabinet. Bagi pemimpin puncak ini Juga menguntungkan, karena bisa terbebas dari beban-beban pekerjaan yang tidak sangat perlu seperti implementasi program-program pembangunan sehingga bisa memusatkan perhatian kepada pemasalahan-pemasalahan lain yang lebih besar yang tak tertangani sebelumnya.
Bagi Pak Harto bisa dimisalkan dalam bentuk keaktifan beliau dalam percaturan politik dan ekonomi internasional. Memang sering juga muncul tanda tanya apakah frekuensi komunikasi seperti ini sudah cukup memadai.
Akan tetapi, bukan berarti Pak Harto tidak memiliki informasr yang memadai untuk membuat sebuah keputusan yang cepat dan akurat. Di dalam kabinet setidaknya terdapat dua jenis sidang, yaitu sidang kabinet terbatas atau khusus dan sidang kabinet paripurna yang dihadiri oleh seluruh menten Di sini para menteri memberikan laporan kepada presiden secara langsung dan tertulis.
Selain itu, setiap bulan para menteri memberikan laporan tertulis kepada Presiden. Di luar itu Presiden juga mempunyai )anngan komunikasi yang formal maupun informal. Jaringan informasi formal misalnya melalui jajaran Irjenbang. Sementara jaringan infomasi informal jauh lebih banyak, lebih kompleks, dan sebagian besar berada di luar kemampuan deteksi umum, bahkan menteri -seperti penuturan dan Mentrans Ir. Siswono Yudohusodo.
Banyak juga kalangan yang menilai bahwa Pak Harto kurang bersedia mendengarkan pendapat orang lain. Kenyataan membuktikan sebaliknya. Beliau adalah karakter orang yang mau mengetahui kelemahannya dan belajar kepada semua orang dan semua peristiwa. Bahkan setiap menteri mengakui Pak Harto adalah seorang pendengar yang baik.
Karakter yang jarang ditemui dalam diri seorang pimpinan puncak. Demikian juga dengan kritik. Pak Harto pun tidak “alergi" dengan kritik, dengan dua catatan. Pertama itu kritik yang membangun, yaitu kritik tidak asal kritik, atau asal bunyi.
Kedua disampaikan tidak hanya dalam tataran rasional, tetapi dalam tataran rasional kultural. Kultural dalam arti cara penyampaian yang tidak menyimpang dari budaya kita sebagai orang timur, sebagai orang Indonesia. Tentu saja kritik ala barat seperti demonstrasi menjadi "tidak kena" dalam konteks manajerial Pak Harto.
Baca juga di bawah ini
Di dalam manajemennya. seperti dijelaskan Menteri Negara Kependudukan/Ketua BKKBN Dr. Haryono Suyono, Pak Harto menginginkan pelaksanaan dilakukan pembantu-pembantunya dalam koordinasi kemitraan yang serapi-rapinya. Di dalam istilah manajemen, bisa dikatakan bahwa Pak Harto mempergunakan struktur matriks” dengan penyempurnaan-penyempumaan. Ini terlihat dari struktur pengorganisasian Kabinet Pembangunan VI.
Komentar
Posting Komentar