Langsung ke konten utama

Manajemen Kekeluargaan Pak Suharto

Manajemen Kekeluargaan Pak Suharto  - Seandainya kita jujur pada hati nurani dan objektif memahami kenyataan, apa pun yang ingin kita katakan tentang Kepimpinan Pak Harto, tak ada kata terpilih kecuali ''sukses''. Beliau benar-benar hadir sebagai putra bangsa, pada saat dan tugas yang tepat, yakni mengantarkan bangsa Indonesia untuk mencapai kehidupan yang modern, maju, dan mandiri.

Lebih 30 tahun Pak Harto memimpin sebuah negeri yang penuh wama-warni budaya, dan 1.001 permasalahannya. Namun, .berkat talenta kepemimpinan yang kuat, dimatangkan dalam proses interaksi sos1o kultural yang mantap, serta seni mengaktualisasikan yang sejuk, santun dan berkeadaban, bangsa kita menggelinding dalam arahlandasan yang tepat, kokoh, dan cita-Cita yang luhur. 

Pak Suharto 

Pak Suharto

Ada ungkapan yang mengatakan bahwa pemimpin ibarat "Tangan Tuhan"yang melalui visi dan orientasinya mampu menyediakan diri untuk merubah "jerami menjadi emas". Tepat kiranya ungkapan tersebut dikenakan untuk melukiskan fenomena kepemimpinan Pak Harto selama ini dalam mengemban fungsi sebagai khalifah Allah di bumi Nusantara.

Pada hemat saya kunci kesuksesan Pak Harto itu, terletak pada kesetiaan beliau menerapkan pola kepemimpinan khas Indonesia, yang bertumpu di atas "Manajemen Kekeluargaan". Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Manajemen Kekeluargaan merupakan inti sekaligus kekuatan dari kepemimpinan nasional yang majemuk, yang merupakan warisan leluhur bangsa. Hal ini, bertumpu pada bobot moral, etik dan kepribadian, yang tercermin melalui kepiawaian Pak Harto dalam melakukan tranformasi spiritualisnya sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman.

Visi saya dalam menangkap hakikat keberhasrlan kepemimpinan Pak Harto seperti itu, mengacu pada fikiran, pandangan, dan sikap beliau tentang kekeluargaan itu sendiri. Suatu ketika beliau menegaskan bahwa "asas kekeluargaan" sebagai substansi sila keempat Pancasila, penting dikembangkan dalam kehidupan modern, baik di lapangan politik, ekonomi maupun sosial budaya. 

Sebab, tanpa kekeluargaan, perjuangan hidup dalam masyarakat, acapkali membuat manusia berhadapan dengan manusia, bangsa dengan bangsa, dalam suatu persaingan dan pertentangan yang justru dapat memorosotkan derajat manusia itu sendiri. Di sinilah manusia cenderung menjadi "Serigala" bagi manusia yang lainnya. 

Kiranya mudah dipahami, bila dalam masyarakat yang majemuk seperti bangsa kita ini, Manajemen Kekeluargaanaseeara obsesif dan konsisten diterapkan oleh Pak Harto. Melalui etos kekeluargan inilah terletak jaminan keselarasan antara hak dengan kewajiban, antara rasa dengan rasio, antara kepentingan kelompok dengan kepentingan masyarakat. 

Melalui etika kekeluargaan pula, semua golongan, besar atau kecil, bersamaan kedudukan, tugas, dan kewajibannya, serta dapat dicegah penindasan oleh yang kuat terhadap yang lemah melalui bentuk dan cara apa pun. Dengan demikian, masyarakat yang heterogen, dapat dipandu dan dipadukan untuk mewujudkan masyarakat politik yang homogen, partisipatif dan demokratis, di atas landasan persatuan dan kesatuan sebagai satu keluarga besar bangsa Indonesia.

Dengan berpegang teguh kepada falsafah Pancasila dan UUD 1945, saya rasakan, bahwa sistem manajemen kekeluargaan yang diterapkan dalam kepemimpinan Pak Harto selama ini, begitu khas, berkarakter dan berkualitas sehingga membuat Pak Harto mampu menciptakan suasana menjadi sejuk, meskipun dalam situasi genting, serta santun walaupun dalam suasana yang hingar-bingar. 

Dengan semangat kekeluargaan pula, beliau mampu memulihkan situasi dan kondisi yang sangat payah di awal pemerintahan Orde Baru, bahkan berhasil mengendalikan jalannya pembangunan nasional yang cakupannya semakin luas dan kompleks, serta dinamika yang semakin intensif dan akseleratif. 

Di sini beliau selalu mengedepankan keteladanan dan kesederhanaan dalam bersikap dan bertindak, penuh kearifan dalam menentukan skala prioritas, serta ketajaman visi jauh ke depan dalam memahami hakikat permasalahan bangsa dan negara. Inilah yang sekaligus merupakan ciri kenegarawanan beliau yang sangat teguh sehingga berhasil memimpin dalam mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia ke arah kehidupan yang jauh lebih baik.

Dengan Pak Harto dan manajemen kekeluargaan yang diterapkan seperti itulah, bangsa Indonesia sungguh bersyukur. Di bawah manajemen kekeluargaan itulah kita dapat merasakan, semua komponen perjuangan bangsa dapat bersatu padu untuk mencapai sasaran yang telah kita sepakati bersama, sesuai GBHN. 

Keteladanan beliau dalam memimpin sangat dirasakan baik oleh pembantu beliau, maupun oleh rakyat. Bahkan mendapatkan pengakuan yang luas dari lembaga-lembaga internasional dan berbagai bangsa di dunia . Beliau sangat dekat di hati rakyat, dan sangat memperhatikan nasib rakyat, melalui berbagai terobosan pembangunan nasional. Kiranya tidak mengherankan apabila kemudian Pak Harto diberi gelar sebagai Bapak Pembangunan.

Lebih dari itu, kecermatan dalam penyesuaian, perhatian yang sungguh-sungguh terhadap aspirasi masyarakat serta pemecahan berbagai masalah yang tepat, yang kadang-kadang kita tak dapat mengatakan namun, dapat merasakan kebenarannya, patut menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi generasi penerus untuk diteladani dan lebih jauh dikembangkan manajemen kekeluargaan tersebut, sesuai tuntutan zaman. 

Di tengah kehidupan modern dewasa ini, manajemen kekeluargaan oleh sementara pihak dianggap sebagai "klasik". Selain itu, kita banyak mendengar, melihat atau membaca, adanya karakter sementara pemimpin yang cenderung menutup diri, hanya dengan dalih ingin mempertahankan nilai diri sendiri. 

Tidak demikian halnya dengan manajemen kekeluargaan yang menyatu dalam diri seorang Soeharto, "the smiling general". Kekeluargaan justru menjadi semakin relevan dan aktual karena berakar pada budaya bangsa dan terbuka terhadap nilai-nilai positif dari sistem manajemen modern yang kemudian memperkaya dan memperkokohnya.

Hal ini antara lain diwujudkan oleh Pak Harto, melalui sikap terbuka dan demokratis terhadap saran dan pendapat pihak lain. Kelebihan Pak Harto adalah senantiasa bersedia dan terbuka untuk mendengarkan pendapat-pendapat dari para pembantunya (para Menteri), kemudian mencari jalan keluar yang paling tepat dalam memecahkan masalah. 

Beliau sangat tenang dan sabar mendengarkan saran-saran bawahan untuk kemudian digunakan sebagai bahan pengambilan tidak berkenan sehingga tidak ada pihak yang merasa ditolak. Sebaliknya bila beliau menerima, tidak ada pihak yang perlu membusungkan dada. Melalui manajemen kekeluargaan, benar-benar tercermin watak beliau: nglurug tanpa bala (menyerbu tanpa pasukan); menang tanpa ngasorake (menang tanpa merendahkan); dan weweh tanpa kelangan (memberi tanpa kehilangan).

Bagaikan air meresap ke bumi, nilai-nilai kepemimpinan/manajemen kekeluargaan seperti itulah yang langsung saya serap ketika saya selaku Ketua DKM berkaitan dengan kasus Santa Cruz/Timtim, mendapat petunjuk langsung dan beliau. Terhadap pemiasalahan yang serius, untuk tidak mengatakan genting karena mendapat perhatian luas dari dunia internasional, Pak Harto juga sangat bijak dan gamblang dalam memberi petunjuk. 

Warna kebapakan yang arif, lebih besar kami rasakan daripada seorang pemimpin dengan instruksinya. Sikap kekeluargaan tetap menyala dan semakin berwibawa dalam menghadapi masalah besar itu sehingga kami lebih terpacu untuk melaksanakan tugas dengan baik dan bertanggung jawab.

Sebagai top manajer beliau memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat jelas, di Samping kami diminta menyelesaikan masalah tersebut secara objektif. Persoalan militer, politik, dan hukum perlu dijadikan pertimbangan utama, namun harus dapat didudukkan secara proporsional. 

Dalam kaitan ini beliau juga mengingatkan falsafah, mikul dhuwur mendhem jero (upaya untuk menghormati orang tua, apa' pun adanya. Kebaikannya dijunjung, sementara kekurangannya dipahami dengan ikhlas) yang merupakan suatu pedoman karena dapat membimbing kita semua untuk mengoptimalisasikan semangat kekeluargaan dan keseimbangan dalam memecahkan masalah seberat apa pun tanpa mengorbankan rasa keadilan dan kepatuhan terhadap aturan. 

Setiap langkah dan tindakan beliau dalam menerapkan manajemen kekeluargaan, sangat saya rasakan adanya keselarasan antara semua faktor yang menjadi pertimbangan. Dengan demikian, semua hal cenderung dapat diakomodasikan oleh beliau dengan sebaik-baiknya. 

Itulah yang menjadikan rujukan utama sehingga di lingkungan ABRI, saya selalu menekankan untuk lebih diperhatikan, pentingnya unsur-unsur keharmonisan, keserasian dan keselarasan, untuk menjamin partisipasi semua pihak sehingga kadar kebersamaan dan ginkronisasi terpenuhi sekaligus. Sehingga suatu keberhasilan, merupakan keberhasilan bersama, sebaliknya bila ada kendala, merupakan tugas dan kewajiban bersama pula untuk menghadapi dan mengatasinya. 

Kualitas manajemen kekeluargaan dari Pak Harto, yang juga menonjol adalah ciri keteladanan dan integritas kepribadian yang tinggi. Hal ini tercermin dalam kehidupan keluarga beliau sendiri. Sering kita lihat beliau selaku kepala rumah tangga dan warga negara berkumpul dengan anak dan cucu dalam suatu acara yang sangat sederhana, damai, dan rukun. 

Dalam saat-saat tertentu keharmonisan itu juga terpancar di atas landasan budaya di mana beliau belajar dan berkembang sampai mencapai taraf yang paripurna. Namun, ketika beliau tampil sebagai pemimpin bangsa, kepala pemerintahan dan personifikasi dari bangsa dan negara tercinta ini maka yang ada adalah budaya nasional, yang berintikan sikap kekeluargaan untuk memperkokoh kohesi kesatuan sebagai keluarga besar bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Menurut saya, hal ini juga merupakan salah satu penampilan yang perlu kita contoh dan diteladani.

Sebagai seorang pemimpin, beliau bukan hanya memenuhi persyaratan rasional-legal sebagai sosok pemimpin modern, tetapi juga memiliki kadar kharisma yang sangat tinggi. Wajar apabila selain sebagai kepala keluarga yang berintegrasi kepribadian tinggi, beliau juga merupakan kepala keluarga dari bangsa Indonesia yang besar ini, dengan etos kepemimpinan yang tangguh, yang diakui berbagai kalangan, baik oleh bangsa sendiri maupun bangsa lain. 

Bila seluruh bangsa Indonesia, dari Sabang sampai Merauke menyadari betapa ampuhnya manajemen yang beliau terapkan itu maka sungguh besar kekuatan kita. Namun demikian, sebagai manusia beliau juga melihat keterbatasan, selain di antara kita sendiri masih terdapat sementara orang kelompok yang tidak sependapat dengan manajemen kekeluargaan ini, karena menggunakan parameter atau tolok ukur yang kurang membudaya atau yang digunakan oleh bangsa lain. 

Mungkin tolok ukur itu cocok bagi suatu bangsa, namun belum tentu cocok untuk bangsa yang lainnya. Bangsa kita jelas lebih cocok dengan sistem manajemen kekeluargaan yang dikembangkan Pak Harto, karena sesuai dengan akar budaya kita dan realitas kondisi sosial budaya bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika.

Ada sebuah cerita menarik. Ketika Soeharto menerima tamu dari Kazakstan, saya sempat berbincang-bincang dengan Menko Kesra, Bapak Azwar Anas. Pak Azwar Anas bercerita bahwa, beberapa waktu yang lalu, pada sebuah konferensi di Amerika Selatan, seorang profesor wanita dari Amerika, mempelajari segala sesuatu di belahan dunia ini. 

Di antaranya adalah tentang profesor tersebut, diketemukan banyak penyimpangan sebagai akibat dari sistem manajemen mereka, muncul pola perkawinan lelaki dengan lelaki dan perempuan dengan perempuan, yang dilegalisasi oleh undang-undang. 

Hal ini, tidak masuk akal. Profesor itu kemudian menyinggung tentang Indonesia dan berkata: “Saya kira setelah mempelajari berbagai sistem, barangkali sistem Indonesia yang disebut Pancasila yang baik. Bahkan sistem manajemen yang paling baik, adalah manajemen yang berciri kekeluargaan".

Pak Azwar Anas merinding mendengar pernyataan tersebut. Betapa terharunya _Pak Azwar terhadap penghargaan yang diberikan profesor itu kepada sistem manajemen yang berjalan di Indonesia. Boleh jadi Presiden Kazakstan yang datang kemari beberapa waktu lalu, juga bermaksud untuk mempelajari sistem manajemen di Indonesia yang dilaksanakan oleh Pak Harto, kata Pak Azwar Anas mengakhiri ceritanya kepada saya. 

Berdasarkan cerita itu, dalam hati saya bertanya: "Kenapa sebagian warga negeri ini masih kurang bangga dengan apa yang dimiliki, dan Silau dengan milik orang lain yang belum tentu lebih baik dan cocok bagi bangsa kita"?

Manajemen kekeluargaan adalah manajemen yang sangat manusiawi, dalam arti menjunjung tinggi harkat insani dan hak-hak asasi manusia, selaras dengan kewajiban asasinya. Tidak ada satu kelompok manusia atau etnis pun yang tidak menghendaki kehidupan yang harmonis, serasi, dan selaras. Hal ini, tentunya dapat dicapai hanya dengan membudayakan semangat kekeluargaan dan kebersamaan demi persatuan dan kesatuan. Apalagi bagi negeri yang memiliki kemajemukan seperti bangsa kita. 

Banyak sistem manajemen lain yang hanya menampilkan satu atau beberapa sektor saja, sementara sektor yang lain terabaikan. Akibatnya, terjadi ketidakseirnbangan dan ketidakharmonisan. Itulah sebabnya manajemen kekeluargaan khas Indonesia yang diaktualisasikan dalam seni kepemimpinan Pak Harto selalu aktual, relevan, kontekstual dan dapat dirasakan manfaatnya. 

Dalam lingkungan regional maupun internasional, manajemen kekeluargaan memiliki andil besar dalam membina kekompakan ASEAN dan keberhasilan Pak Harto selaku Ketua Gerakan Negara-Negara Non-Blok beberapa waktu yang lalu. 

Dalam kerangka membudayakan terus manajemen kekeluargaan ini, selalu disampaikan dalam sidang Kabinet maupun berbagai kesempatan menerima pejabat, tokoh masyarakat, pemuda, dan lain-lain serta dalam kesempatan menerima kunjungan kehormatan dari pimpinan negara asing.

Melalui manajemen kekeluargaan, Pak Harto tidak kehilangan peluang untuk mengambil keputusan secara cermat, cepat, dan tepat dalam kondisi kritis sekalipun. Pada hemat saya, kemampuan mengambil keputusan dengan standar kualitas seperti tersebut, baru tercatat dua orang, pertama, Panglima Besar Jenderal Sudirman ketika harus memutuskan bergerilya, sementara Presiden menghendaki tetap tinggal di kota (Yogyakarta). 

Kedua, Letnan Jenderal Soeharto ketika harus memutuskan membubarkan PKI, sementara Presiden tidak menghendakinya. Namun demikian, kecepatan pengambilan keputusan itu tidak mengabaikan adanya masukan dan infomiasi yang perlu dipelajari secara cermat sehingga keluaran/keputusan yang dihasilkan selalu tepat dan akseptabel. 

Manajemen kekeluargaan juga nampak dengan jelas dalam perilaku politik/demokrasi yang diterapkan oleh Pak Harto. Dalam masalah demokrasi Pak Harto selalu menekankan bahwa yang paling sesuai bagi bangsa kita adalah sistem demokrasi yang berdasarkan Pancasila yang sarat dengan prinsip-prinsip kekeluargaan. Kalau pun kemudian ada yang harus keluar sebagai pemenang maka kemenangan itu adalah kemenangan keluarga besar bangsa Indonesia. 

Kita rundingkan segala sesuatunya secara kekeluargaan berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat. Demokrasr Pancasrla ndak mengharamkan voting. Akan tetapi, voting tidak menjadi prioritas utama dalam menyelesaikan pemasalahan. 

Dalam membangun sistem politik demokrasi Pancasrla. berkaitan dengan peran sosial politik ABRI misalnya, Pak Harto menegaskan: inti pokok persoalan demokrasr adalah membangun pemerintahan yang dipercaya oleh rakyat. dikontrol oleh rakyat dan melaksanakan kehendak rakyat. 

Di sini tidak ada persoalan militer menguasai Sipil atau Sipil menguasai militer. Sebab demokrasi Pancasila bukanlah Sipilisasi dan mengesampingkan peran yang dapat diberikan oleh ABRl. Yang penting adalah apikal: asas dan sendi pemerintahan telah sesuai ketentuan UUD I945, apakah demokrasr berkembang secara sehac ataukah konstitusi tumbuh dengan kuat dan penegakan hukum beljalan dalam suasana kepastian.

Di lain kesempatan Pak Harto, juga memperhatikan tentang aspira“ masyarakat yang berkembang perihal peran sosial politik ABRI yang lebih praktis, seperti keberadaan Fraksi ABRI di DPR-Rl. Suatu ketika beliau memanggil saya dan memberi petunjuk agar supaya aspirasi untuk mengurangi jumlah anggota Fraksi ABRI dari 100 orang menjadi 75 orang itu disosiahsasrkan secara kekeluargaan dengan lembaga perwakilan rakyat tersebut. 

Dengan semangat kekeluargaan itu pula, saya datang ke DPR bersama Mendagri, dan menyampaikan masalahnya secara musyawarah. Terbukti dapat diterima dengan sebaik-baiknya. dalam aru Jumlah 75 orang tersebut sudah cukup memadai dan representatif, sesuai dengan luasnya cakupan dan kompleksitas pemasalahan tugas DPR.

Pertanyaannya adalah: "Bisakah dilaksanakan pada pemilu yang akan datang (1997). Kalau bisa silakan, namun seandainya belum, kiranya tidak dipaksakan". Pada prinsipnya, bagi ABRI apa yang menjadi kehendak rakyat itulah yang patut direspon sehingga dapat lebih cepat direalisasikan, itulah yang terbaik. 

Sebab salah satu prinsip dasar dari totalitas pengabdian ABRI adalah apa yang terbaik untuk rakyat, itulah yang terbaik bagi ABRI. Demikian pula dalam amaliah Dwifungsi ABRI dalam rangka turut serta dan bersama-sama komponen bangsa yang lain, membangun sistem politik demokrasi Pancasila agar semakin kokoh, berkualitas dan berkapasitas. 

Pada hemat saya, kebijaksanaan Pak Harto yang juga mengesankan adalah berkaitan dengan proses perumusan dan penyiapan naskah GBHN. Dengan manajemen kekeluargaan, beliau tampilkan seruan agar semua faham memberi masukan terhadap materi GBHN agar makin selaras dengan tuntutan dan kemajuan zaman. 

Jika pada beberapa Pelita sebelumnya masukan konsep GBHN dari Presiden, kemudian dibahas oleh MPR untuk disahkan menjadi GBHN maka dengan makin mantapnya Orsospol dan cerdasnya masyarakat, Presiden memberikan kesempatan langsung kepada Orsospol untuk menyusun bahan GBHN yang akan diajukan ke Sidang Umum MPR.

Hal ini, menunjukkan betapa Bapak Presiden Soeharto selalu menunjukkan penyesuaian sikapnya terhadap perkembangan zaman, dan sekaligus menunjukkan pula ciri kenegarawanannya yang tinggi. Ciri seperti ini merupakan kelebihan sistem manajemen khas Presiden Soeharto, yang secara konsisten beliau kembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Ketika saya diangkat menjadi Panglima ABRI, saya menyambut tugas dan kepercayaan dari Bapak Presiden, dengan memohon kekuatan lahir maupun batin ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, seraya menyadari sepenuhnya akan tugas dan peranan ABRI dalam mengamankan dan menyukseskan jalannya pembangunan nasional. 

Perintah pertama beliau kepada saya adalah agar konsolidasi ABRI terus dilanjutkan dengan kesiapan yang optimal sehingga ABRI dapat mengemban peranannya, baik sebagai kekuatan Hankam maupun sebagai kekuatan Sosial Politik. 

Beliau berpesan bahwa pada saat ini kita sedang memfolniskan pembangunan kualitas sumber daya manusia Indonesia. ABRI terpanggil untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan meningkatkan kualitas prajuritnya dan soliditas organisasinya.

Dihadapkan kepada kecenderungan gelagat situasi yang penuh ketidakpastian dan proses pluralisasi akibat globalisasi, sesungguhnya tanggung jawab kita amatlah besar dalam menjaga eksistensi kehidupan nasional. Keanekaragaman selamanya bersifat "ambivalen". 

Di satu sisi menjadi kekayaan rohaniah yang dapat memperkokoh jati diri dan integritas bangsa, namun pada sisi yang lain mengandung kerawanan yang sangat membahayakan persatuan dan kesatuan. Bangsa Indonesia telah terbebas dari dilema pluralitas sejak dikumandangkannya Sumpah Pemuda 1928. 

Oleh sebab itu, budaya kekeluargaan perlu dikembangkan dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan, demi tetap lestarinya eksistensi, kedaulatan, dan kemerdekaan negeri tercinta ini. 

Dalam hubungan ini ABRI bersama dengan komponen bangsa yang lain, bertanggung jawab untuk mendukung segala upaya ke arah penguatan kehidupan bangsa, dan siap menangkal segala bentuk ancaman dari manapun datangnya. 

Dalam kaitan itulah, perlu kita ciptakan iklim yang kondusif untuk mengabdikan kemampuan kita secara optimal dan secara bertanggung jawab yang menyatu dengan identitas kepejuangan dan wawasan kita, sebagai bangsa pejuang yang konsisten dengan perjuangan generasi pendahulu. 

Kalau ABRI hadir dan berperan di suatu tempat, itu karena kondisi dan Situasi menuntutnya demikian, sesuai dengan sistem, aturan, dan nilai budaya bangsa. ABRI tidak akan mau menang sendiri dan memaksakan kehendaknya secara tidak demokratis. 

Saya bukan bermaksud membusungkan dada atau membela diri. Namun, banyak teman saya Panglima Angkatan Bersenjata Negara lain yang komentarnya perlu kita resapi bersama: "Bukan main Indonesia, angkatan perangnya betul-betul mengabdi untuk kepentingan rakyat. Kalau angkatan perang lain tidak sedalam itu kadar pengabdiannya“.

Sesuai dengan Dwifungsinya, ABRI bertugas memelihara stabilitas politik dan keamanan agar dinamika masyarakat dalam menghela pembangunan senantiasa tetap dapat diwadahi oleh kemampuan sistem yang telah berhasrl kita bangun bersama dan senantiasa dalam koridor Pancasila dan UUD 1945. Betapa pun kerasnya kritik dan derasnya pembaruan, ABRI sangat mendukung, dan inilah dinamika demokrasi Pancasila. Tetapi harus sesuai dengan sistem yang ada. Kalau menyimpang, kita ajak untuk masuk kembali ke dalam koridor, dan di situlah kita bermain bersama secara kekeluargaan dan musyawarah. Dengan demikian, stabilitas nasional dapat terus ditingkatkan. 

Tentunya kita telah memahami bersama, kalau stabilitas ini tidak ada, terutama stabilitas politik dan ekonomi maka pembangunan tidak dapat berjalan. inilah yang selalu ditekankan pula kepada saya selaku Panglima ABRI. 

Dengan demikian, akan terjadi kinerja yang optimal antara pembinaan stabilitas yang sehat dan dinamis dengan pengembangan dinamika yang kreatif dan stabil. Singkatnya pendekatan keamanan dan kesejahteraan merupakan kunci keberhasilan pembangunan nasional yang serasi baik lahir maupun batin, dunia maupun akhirat.

Sesuai dengan Dwifungsinya, ABRI bertugas memelihara stabilitas politik dan keamanan agar dinamika masyarakat dalam menghela pembangunan senantiasa tetap dapat diwadahi oleh kemampuan sistem yang telah berhasil kita bangun bersama dan senantiasa dalam koridor Pancasila dan UUD 1945. 

Betapa pun kerasnya kritik dan derasnya pembaruan, ABRI sangat mendukung, dan inilah dinamika demokrasi Pancasila. Tetapi harus sesuai dengan sistem yang ada. Kalau menyimpang, kita ajak untuk masuk kembali ke dalam koridor, dan di situlah kita bermain bersama secara kekeluargaan dan musyawarah. Dengan demikian, stabilitas nasional dapat terus ditingkatkan. 

Tentunya kita telah memahami bersama, kalau stabilitas ini tidak ada, terutama stabilitas politik dan ekonomi maka pembangunan tidak dapat berjalan. Inilah yang selalu ditekankan pula kepada saya selaku Panglima ABRI. 

Dengan demikian, akan terjadi kinerja yang optimal antara pembinaan stabilitas yang sehat dan dinamis dengan pengembangan dinamika yang kreatif dan stabil. Singkatnya pendekatan keamanan dan kesejahteraan merupakan kunci keberhasilan pembangunan nasional yang serasi baik lahir maupun batin, dunia maupun akhirat.

Dalam prespektif manajemen kekeluargaan itu pula suatu saat Pak Harto memberi petunjuk di sekitar kebijaksanaan tut wun' handayani dalam melaksanakan peran sosial politik ABRI. Menindaklanjuti petunjuk tersebut dan setelah dilakukan evaluasi, memang sudah saatnya ABRI untuk lebih tut wuri handayani. 

Akan tetapi, hendaknya diingat setiap saat bila terjadi sesuatu yang membahayakan stabilitas nasional dan mengancam kesinambungan pembangunan, ABRI dapat bersikap ing ngarsa sung tuladha maupun ing madya mangun karsa. Kebijaksanaan tut wuri handayani tidak ada kaitannya dengan revisi konsep Dwifungsi ABRI sebagai nilai dasar, apalagi dijadikan alasan pembenar untuk memarjinalkan peran politik ABRI. 

Akan tetapi, berkaitan dengan tanggung jawab ABRI, yang mengharuskan dirinya sendiri untuk menyesuaikan nilai instrumental dan praksis sosial politik ABRI, sesuai tuntutan zaman dan tantangan perubahan. 

Pak Harto adalah manusia biasa yang tentunya mustahil untuk hidup 1000 tahun lagi. Oleh sebab itu, perihal Presiden Indonesia di masa depan, tidak menjadi persoalan apakah ia berasal dari ABRI atau bukan. Bahkan Pak Harto sendiri pernah mengemukakan Presiden tidak harus dari ABRI. Yang terpenting adalah segala sesuatunya diproses dan dilaksanakan sesuai ketentuan konstitusi, dan putra-putri bangsa terbaik, siapapun dia, apa pun latar belakangnya, berhak memimpin bangsa ini. 

Baca juga selanjutnya di bawah ini


Bagi ABRI, sebagaimana yang ditekankan oleh Pak Harto maka kader Pimpinan Nasional tersebut hamslah memenuhi kriteria pokok yakni terjamin loyalitasnya kepada Pancasila dan UUD 1945, terjamin visi dan wawasan kebangsaannya, serta terjamin tekad dan semangatnya untuk melanjutkan pembangunan di atas jiwa, semangat dan nilai-nilai Orde Baru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Cerita Asal Usul Batara Guru (Sang Hyang Manikmaya)

Kisah Cerita Asal Usul Batara Guru (Sang Hyang Manikmaya) - Batara Guru atau Sang hyang Manikmaya ialah putra Sang Hyang Tunggal dengan Dewi Rekatawati atau Dewi Wirandi, putri raja jin Prabu Yuyut di negeri Keling. Saudara Batara Guru adalah Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga. Batara Guru mempunyai dua orang isteri yakni : Batara Guru Baca juga selanjutnya Kesaktian Beghawan Bagaspati Matinya Tokoh Wayang Bambang Aswatama 1. Dewi Umayi atau Umaranti, berputera enam orang yakni Sambo, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu dan batara Kala. 2. Dewi Umaparwati berputera Batara Cakra, Batara Gana/Ganesya (Mahadewa) dan Batara Asmara. Batara Guru adalah seorang raja dewa yang memerintah Tribawana yakni : Kayangan, Mayapada, dan Sonyaruri.

Cerita kehidupan Raden Bogadenta

Cerita kehidupan Raden Bogadenta - Bogadenta adalah termasuk keluarga Kurawa dia terlempar ke tanah seberang ketika dalam lakon Pandawa ditimbang dengan Kurawa sebelum Bima datang timbangan tersebut berat Kurawa, namun setelah Bima datang dengan melompati timbangan tersebut akhirnya keluarga Kurawa banyak yang terlempar jatuh di negara seberang.  Bogadenta Baca juga di bawah ini Dentawilukrama Raja Singgelapura Anak Keturunan Prabu Basupati Demikian juga dengan yang dialami oleh Prabu Bogadenta ia terlempar jatuh di negara Turilaya dan Bogadentapun menjadi raja disana. Tokoh ini mati dalam perang Baratayuda setelah bertanding dengan Bima, ia punya sanjata andalan yang ampuh bernama Kyai Wisnawa atau Wismana, tinggalan dari Prabu Bomanarakasura.

Cerita Gugurnya Prabu Arimba

Cerita Gugurnya Prabu Arimba - Arimba adalah raja negara Pringgodani setelah wafatnya Prabu Tremboko pada waktu perang pamuksa dengan Prabu Pandudewanata, dengan kejadian tersebut Prabu Arimba membara api dendamnya terhadap keturunan Prabu Pandu dan ingin membinasahkannya. Prabu Arimba Tetapi kejadian itu berkehendak lain, adik Arimba sendiri yaitu Dewi Arimbi telah jatuh cinta dengan Raden Werkudara dan pada akhirnya Prabu Arimba sendiri gugur ditangan Raden Werkudara, karena telah diberi tahu kelemahan Prabu Arimba. Baca juga selanjutnya Gugurnya Raden Antareja Mengetahui Kepribadian Tokoh Wayang Adirata Karena Prabu Arimba sakti mandraguna berkat keikutsertaan Dewi Arimbi untuk memberkan kelemahan kepada Raden Werkudara akhirnya bisa mengalahkan Prabu Arimba, pada akhirnya kerajaan Pringgodani diserahkan kepada Raden Werkudara yang akan menjadi Raja di Pringgodani, tetapi Raden Werkudara tidak mau dan dierahkan kepada keturunannya dengan Dewi Arimba ya