Langsung ke konten utama

Manajemen Pak Harto Bisa Diamati Suksesnya Pembangunan Negara

Manajemen Pak Harto Bisa Diamati Suksesnya Pembangunan Negara - Secara umum, manajemen Pak Harto dapat diamati dengan jelas dari kisah sukses pembangunan negara kita. Proses dan pilihan-pilihan prioritasnya, aksentuasinya, di sana-sini memang terdapat kemiripan dengan kisah sukses pembangunan (ekonomi) negara lain. Namun, tidak sedikit prakarsa dan inisiatif Pak Harto bersifat fenomena. 

Termasuk metodologi pembangunannya yang dapat disimpulkan sebagai menata sambil membangun atau sebaliknya, membangun sambil menata. Selama hampir tiga dekade terakhir, Indonesia tumbuh dan berkembang secara berkesinambungan. 

Pak Harto

Pak Harto
Kalau menggunakan takaran-takaran baku yang berlaku universal, keberhasrlan tersebut (khususnya di bidang ekonomi) antara lain terefteksi dan PDB, pendapatan per kapita dan sebagainya, yang kesemuanya menyebabkan berbagai pengamat menempatkan Indonesia di antara sangat sedikit the miracle making economies.

Aktualisasi aset-aset negara yang berwujud (tangible) maupun yang tidak terwujud (intangible), juga memiliki kisah suksesnya tersendiri. Bahkan jika kita mengamati lebih jauh, manajemen Pak Harto justru sekaligus membangun intangrble assets sebagai fondasi yang kokoh bagi perolehan nilai tambah lebih besar dalam pembangunan ekonomi. 

Dan itu kita rasakan secara nyata. termasuk Sistem dan tradisi-tradisi politik yang handal, sistem pengolahan ekonomi makro yang mantap, produk-produk perundangan yang telah disempurnakan, serta faktor-faktor konstanta kita sebagai bangsa. 

Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa falsafah Pancasila juga adalah aset negara dan bangsa yang terus diperkaya dengan nuansa-nuansa baru. Dengan demikian Pancasila tidak hanya diacu untuk menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang harmonis, berkepribadian sesuai akar budayanya, tetapi juga mengilhamr perolehan nilai tambah tersebut.

Selama ini, sebagaimana dapat diamati pada manajemen negara-negara yang berhasil, manajemen Pak Harto juga amat berorientasi pada konsep stakeholders, manajement, seperti saya jelaskan di atas. Namun untuk memahami secara lebih komprehensif Fenomena Manajemen Soeharto tersebut, ada baiknya kitamenyimak karakter-karakter utamanya atau kemampuan-kemampuan lebihnya selaku seorang manajer puncal.

Pertama, baik dalam hal management sebagai ilmu (science) maupun sebagai seni (art), temyata penguasaan Pak Harto terhadap keduanya sungguh luar biasa. Bahkan disiplin-disiplin ilmu seperti ekonomi, pertanian, telekomunikasi yang sarat tehnologi dan sebagainya, dikuasainya secara mendalam. 

Pak Harto memang tidak memiliki gelar akademis, tetapi amat sulit dibantah bahwa beliau berkemampuan luar biasa untuk memahami objek telaahan disiplin-disiplin ilmu tersebut. Selain itu, pemahaman, penguasaan, dan pengarahannya pada masalah-masalah yang sifatnya teknis secara rinci, runtut dan mendetail jarang ditemukan duanya, ibarat seorang pemimpin usaha yang sukses, karena ia memiliki kemampuan dan (konszstensi) manajemen secara hands on dengan attention to detail. Badan-badan usaha yang termasuk excellent digerakkan oleh pemimpin seperti itu, sebagaimana di tuturkan Tom Peters dalam buku In Search of Excellence.

Pengamatan tersebut di atas sekaligus membuktikan bahwa selain tingkat kecerdasannya tinggi. Pak Harto juga adalah pribadi yang mencintai pekerjaan dan lingkungan kerjanya. Lebih dari itu ia adalah tokoh yang gemar belajar, a wise and alert learner yang terus-menerus belajar salah satu karakter utama seorang profesional.

Kemudian, dalam mengarahkan disiplin-disiplin ilmu yang dikuasainya. Pak Harto menerapkan seni memanajemeni yang demikian canggihnya. Buktinya sebagai pelaku manajemen, para pembantu dan komponen-komponen stakeholder negara, senantiasa dapat berinteraksi secara harmonis dan serasi. Hal ini hanya dimungkinkan karena Pak Harto menguasai psikologi manusia Indonesia dengan latar belakang budaya yang beraneka ragam. Dan ia sendiri berjiwa besar.

Dalam proses selanjutnya, Fenomena Manajemen Soeharto tampak telah memiliki semacam corporate culture dengan warna lebih bercorak Jawa, yang diperkaya penguasaan keagamaan Islam yang mendalam. Keberadaan dan peran Pak Harto pun bukan hanya sebagai manajer, tetapi juga seorang leader. 

Jika kita menelusuri badan-badan usaha raksasa di manca negara, tidak sedikit yang mengalami kondisi parah alias sakit. Banyak di antara mereka tertolong. bahkan berbalik menguat (turn around) hanya dengan menempatkan pimpinan puncak atau chief executive yang memiliki kemampuan luar biasa. Untuk bisa berbalik menguat. menurut Peter F. Drucker (Post Capitalist Society,1993), setiap organisasi dan pemimpinnya harus menerapkan tiga langkah:


  • abandonment of the things that do no work, the things that have never worked. the things that have outlived their usefulness and their capacity to contribute. 


  • concentration on the things that do work, the things that produce results. the things that improve the organization ’s ability to perform, and, 


  • analysis of the hay-successes, the half-failures. A turn-around requries abandoning what ever does not perform and doing more of whatever does perform.
Langkah-langkah itu pun ditempuh Pak Harto lewat pendekatan beliau yang pragmatis, dalam pengertian Pak Harto setiap kali memilih what works. Lihat saja bagaimana kacaunya negara kita di masa lalu, yang kini berubah haluan dan bahkan turned around di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Kesimpulan yang dapat kita peroleh di sini ialah betapa menentukan peranan seorang pemimpin, terutama dalam penyelamatan dan pengembangan sebuah institusi termasuk negara.


Dari perspektif itulah sangat menarik untuk diamati kualitas kepemimpinan atau leadership quality Pak Harto. Untuk menghasilkan karya-karya prestatif, sedikitnya ada tiga karakteristik yang mutlak dan lazim dimiliki oleh para pemimpin. Saya mengibaratkannya sebagai kembang tiga serangkai dalam istilah manajemen dikenal sebagai WC: Vision, value & courage. Di sini kita ak n memandang kepemimpinan Pak Harto dari perspektif penguasaan secara terpadu antara visi, nilai dan keberanian (vision, value & courage) tersebut.

Visi mengacu pada pandangan dan wawasan yang jauh ke depan: ia hanya tampak oleh pemimpin yang mampu mengantarkan insitusinya kepada tahap-tahap kemajuan sesuai perubahan zaman dan dinamika lingkungannya. Benar juga pepatah without vision people shal perish (tanpa visi manusia akan lenyap dari lingkungannya). 

Cuma perlu diingat bahwa visi hanya merupakan mimpi, tanpa kemampuan manajemen untuk menjabarkan dan merealisimya. Artinya tanpa kemampuan tersebut seseorang tidak dapat disebut visioner, melainkan dreamer alias pemimpin.

Pada awal 'PJP-I Indonesia adalah salah satu pengimpor beras terbesar di dunia. Namun visi kepemimpinan Pak Harto saat itu sepertinya telah sampai pada tahap lndonesia sebagai negara yang bisa berswasembada beras, selain dapat memenuhi kebutuhan sandang dan papan bagi rakyatnya. Visi ini diterjemahkan dalam rangkaian kebitakan-kebijakan: BIMAS, INMAS, INSUS, SUPRAINSUS, lalu dengan konsisten dan berani beliau terapkan bersama pembantu-pembantunya. 

Demikian pula pandangannya yang jauh ke depan menyangkut Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas dan menyebar. Maka, untuk kesatuan dan persatuan bangsa, untuk penahanan dan keamanan negara, dan untuk kelancaran roda pembangunan ekonomi, visi Pak Harto sudah menyentuh sarana komunikasi yang canggih yang bisa menjangkau seluruh wilayah Nusantara.

Pak Harto lalu berkcsmpulan untuk meluncurkan satelit Palapa sebagai satelit komunikasi domestik pertama di kalangan negara berkembang. Dari awal pemerintahan Orde Baru di bawah Pak Harto, visi pembangunan ekonomi pun telah jelas investasi swasta, termasuk asing harus didukung oleh rezim densa bebas. Melalui keberanian mengambil risiko yang terkalkulasi, kebijakan dewsa bebas telah diberlakukan sejak awal Repelita-l. Contoh-contoh tersebut menunjukkan kepemimpinan Pak Hano yang bemfat visioner. 

Singkatnya. pembangunan yang dituangkan dalam dokumen-dokumen PJP-I dan PJP-II serta penjabarannya lewat Repelita-Repelita adalah refleks: dan ust kepemimpinan Pak Harto. Dapat pula diamati bahwa di awal Orde Baru, kebanyakan orang melihat Indonesia apa adanya sebagaimana yang tampak. tidak sedikit yang pesnmistis. 

Namun Pak Harto menformulasikan gambaran Indonesia yang maju dan modern atas dasar potensi yang dimilikinya. ini adalah visi. Bahkan yrs: Pak Harto tentang dunia ini, khususnya kawasan Asia Pasifik tidak jarang mengilhami interaksi ekonomi dan perdagangan masyarakat dunia, khususnya di kawasan Asia Pasifik Hal ini tercermin dari inisiatif serta kebijakan beliau untuk memfasilitasi, memelopori dan mendukung terciptanya perdagangan bebas dalam kerangka AFTA maupun APEC.

Mengapa visi strategis (strategic vision) Pak Harto begitu kuat? Saya cenderung menjawabnya bahwa hal itu terjadi karena beliau bukanlah sekadar semang manajer tetapi sekaligus seorang pemimpin sejati. Manajer berorientasi pada pengakhiran sumber-sumber daya. Leader menuntun dengan visi ke depan, memanajemen perubahan, bahkan berani melakukan perubahan demi kemajuan. 

Dengan perhitungan yang matang. Pak Harto mampu secara efektif berperan sebagai manajer sekaligus sebagai lender dengan bobot perimbangan dan prioritas yang dinamis pula. Dalam kategori Warren Beams (guru manajemen di bidang leadership) Pak Hano termasuk pemimpin yang berpredikat complete leader sedangkan saya menyebut management leader.

Dari pengamatan di atas dapat disarikan bahwa Pak Harto sebagai manajer puncak pembangunan Republik Indonesia, benar-benar mempunyai visi yang tajam dan jauh ke depan. Oleh karena itu, apa yang dibuat Pak Harto selalu up to date. Visi ini begitu vital dalam setiap pemimpin puncak sebuah institusi, mulai yang sederhana seperti perusahaan dalam skala kecil sampai institusi yang begitu rumit seperti sebuah negara. Kalau visi sudah benar, masalah lain masih bisa diperbaiki, tetapi kalau visi sudah salah melangkah apa pun pasti salah.

Oleh karena itu, tantangan bagi sebuah VlSl yang sudah benar dari pimpinan puncak adalah seberapa jauh Visi itu bisa diterjemahkan oleh para pembantunya. Dalam kaitan ini manajemen dapat dikatakan sebagai proses yang tems mengalir dan atas ke bawah Bila ada bottle neck. 

Visi manajemen itu tidak akan terlaksana. Namun perlu diketahui bahwa penjabaran (terjemahan) sampai implementasinya, tidak selamanya berjalan secara mulus dan lancar, termasuk dalam manajemen negara. Itu sebabnya manajer dan pemimpin pun harus bijaksana. seperti juga diperlihatkan Pak Harto.

Selanjutnya adalah value atau sistem nilai. Value sangat menentukan arah tindakan ataupun langkah-langkah yang akan ditempuh seorang pemimpin. Hal ini sangat terkait dengan hubungan antar manusia karena justru tindak-tanduk seseorang sangat banyak dipengaruhi oleh sistem nilai yang dunilikmya. Pada pnbadi Pak Harto sebagai pelaku manajemen yang sangat menank diamati adalah keahlian beliau menerapkan seni memanajemeni yang benar-benar sulit tertandingi. 

Dari arah pemikiran, langkah dan tindakan-tindakannya dapat diamati bahwa value system Pak Harto sangat diwarnai oleh budaya Timur. khususnya falsafah Jawa yang mendalam, seperti Ing ngarsa sung Tulada, Ing madya mangun karsa. Tut wuri handanyani. 

Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan ajaran Islam, tampaknya juga memperkokoh pribadi Pak Harto. Boleh jadi kombinasi falsafah dan kepercayaan inilah yang melandasi bawa rasa (judgement dan feeling) beliau dalam mengambil langkah-langkah yang berdampak strategis. Sangat menarik untuk dikaji lebih jauh apakah peranan budaya dan falsafah (Jawa) dapat memberi kontribusi positif dalam teori manajemen dinamis yang dituntut dalam era globalisasi ini.

Sementara itu. dalam manajemen selalu terjadi proses pengemban atau mobilisasi sumber-sumber daya manusia, atau proses yang berkaitan dengan hubungan antar manusra. Dalam hal ini Pak Harto memiliki keahlian untuk senantiasa menjaga keseimbangan dalam suatu dinamika kelompok (group dynamics). 

Pengamatan saya menunjukkan bahwa karena sistem nilainya diwamat falsafah Jawa dan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa (selain tentunya kedisiplinan dan karier militernya) maka logis bila Pak Harto sangat mementingkan keharmonisan, keteraturan dan keseimbangan. 

Beliau nampaknya tidak menginginkan terjadinya konfrontasr yang terbuka, termasuk dalam bentuk debat terbuka. Barangkali karena menurut srstem nilai Jawa. berselisih itu hanya akan menghasilkan kehancuran ata kerusakan (crah agawe bubrah). 

Menarik untuk ditelaah karena hal itu dapat dikatakan sebagai sesuatu yang kontra-trend. Setidaknya berseberangan dengan teori manajemen modern yang senantiasa mendinamisasikan organisasi melalui perdebatan secara terbuka (open debate). 

Asumsinya ialah dalam proses debat terbuka dapat diamati frgur-frgur yang berbakat, sekaligus diharapkan adanya penemuan hasil optimum (dari perbedaan pendekatan atau sudut pandang yang bahkan berlawanan).

Prakteknya, debat terbuka bisa membentuk persaingan antar manusia dalam organisasi yang sama. Apabila ia dapat dimanajemeni secara efektif, debat atau persaingan tersebut akan menelorkan dinamisme tim (team dynamics). Dinamisme tim adalah intrumen manajemen yang produktif. 

Di dalam budaya Jawa yang mementingkan kerukunan (rukun agawe santoso), tampaknya persaingan seperti itu bukanlah sesuatu yang wajar. Ada kesan seolah-olah ambisi ataupun potensi pribadi yang bisa menelorkan karya besar tidak layak ditonjolkan kalau perlu malah ditekan dan disembunyikan. Ternyata cara terakhir inilah yang mempercepat perwujudan stab1litas politik. keamanan, dan pemerintahan, yang justru merupakan pondasi bagi proses pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. 

Dalam hal sistem nilai ini muncul sebuah paradoks yang cukup penting dalam manajemen pembangunan negara di masa kini. Paradoks ini tampaknya perlu dianalisis lebih mendalam sebagai suatu kasus penerapan manajemen yang sangat berorientasi kepada kultur mayoritas, yaitu kultur Jawa. 

Analisis tersebut busa dimulai dengan pertanyaan: Apakah dengan penerapan teori manajemen modern (yang mengacu pada orientasi dinamisme kelompok) dalam managemen pembangunan Republik Indonesia, akan menghasilkan prestasi yang lebih baik? Atau justru akan menimbulkan risiko disintegrasi yang pada akhirnya bermuara pada kegagalan pembangunan itu sendiri?

Pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah pribadi Pak Harto yang pola manajemennya berorientasi pada seni yang berakar budaya Jawa akan berhasil pula secara efektif memanajemeni suatu institusi dalam lingkungan yang berbeda latar belakang budayanya? Ataukah justru pola manajemennya yang akan berbeda? 

Pada hemat saya, Pak Harto adalah figur seorang profesional. Dan seorang profesional akan mampu menyesuaikan pola manajemennya sesuai dengan lingkungan dan kebutuhan. Ini bisa dilihat dalam kesempatan Pak Harto memanajemeni dan memimpin negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok (GNB). Sulit disangkal bahwa kepemimpinan Pak Harto dalam GNB menghasilkan prestasi yang sangat memuaskan.

Dari perspektif sistem nilai ini. menarik pula untuk diamati kenyataan bahwa Pak Harto sangat mementingkan citra dan harga diri bangsa Indonesia. Langkah-langkah dan keputusan-keputusan beliau dalam memimpin bangsa selama ini sejauh pengamatan saya tidak pernah mengorbankan citra dan harga diri bangsa Indonesia di mata dunia. 

Hal ini sangat sejalan dengan teori pengembangan badan-badan usaha secara berkesinambungan. Dalam perspektif ini faktor citra dianggap sebagai suatu kekayaan atau aset yang harus terus-menerus dipupuke dijaga dan dipelihara.

Bahkan tidak jarang investasi yang cukup besar dialokasikan untuk membangun suatu citra. Dalam pengembangan citra ini, Pak Harto benar-benar telah menunjukkan superioritasnya. Salah satu contohnya adalah keputusan beliau untuk menolak bantuan pemerintah Belanda lewat forum IGGI karena Belanda dianggap mencampuri urusan internal bangsa Indonesia. IGGI bahkan dibubarkan demi citra dan harga diri bangsa Indonesia. 

Sebaliknya, Pak Harto juga tidak pernah mengorbankan harga diri negara dan pemimpin bangsa yang lain. Tidak diakuinya Proklamasi 17 Agustus 1945 oleh sebagian masyarakat Belanda dianggapnya sebagai urusan mereka sendiri dan Pak Harto memahami pressure di balik kunjungan Ratu Beatrix pada momentum peringatan 50 tahun Indonesia yang berlangsung beberapa hari sesudah upacara kenegaraan 17 Agustus 1995.

Selanjutnya visi dan value saja tidak akan membawa hasil optimal tanpa keberanian menentukan langkah dengan arah yang tepat. Termasuk mobilisasi sumber-sumber daya khususnya manusia. Dalam prosesnya pasti banyak tantangan. 

Oleh karena itu, visi dan value harus dilengkapi keberanian untuk mengatasi tantangan, walaupun harus mengambil risiko (rawe-rawe rantas, malang-malang putung). Istilah bisnisnya ialah entreprenerial risk. 

Tentang kriteria keberanian atau courage tersebut kembali Pak Harto sebagai pemimpin memang sukar tertandingi. Risiko bisnis adalah harta atau kekayaan dalam berbagai bentuknya yang dapat diukur dengan takaran moneter. Namun, bagi negara, risiko kepemimpinan boleh jadi berupa nyawa, kekacauan, bahkan kehancuran suatu bangsa.

Banyaklah bukti yang mengungkap keberanian Pak Harto menentukan langkah. Kita tahu betapa dramatisnya penyerangan Yogyakarta di bawah simbol janur kun ng. Pengambilalihan Irian Barat terdokumentasi dengan baik. Ada pembubaran PKL Dan yang sangat spektakuler ialah proses pergantian kepemimpinan dari Orde Lama. 

Pada saat-saat negara masih diliputi awan gelap, Pak Harto telah melihat jalan yang cerah. Lalu dengan keberanian yang luar biasa ia mengambil keputusan yang berisiko tinggt Sama halnya dalam bisnis, pengambilan keputusan pada saat yang tepat adalah jamrnan keberhasilan. Akan tetapi, bagaimana mengukur ketepatan dalam kondisi ketidak lengkapan informasi? Dan akhirnya segala-galanya adalah timing yang tepat.

Dalam perjalanan pembangunan Orde Baru tidak kurang tantangan dan perubahan-perubahan yang mendebarkan. Bila tidak termanajemeni deng n baik, atau pengambilan keputusan tidak tepat pada saat-saat kritis maka risiko kegagalan boleh jadi tidak dapat dihindari. 

Keberanian mengambil keputusan pada saat-saat kritis. khususnya bagi kelembagaan negara tidak selamanya menggunakan rumus ilmu pengetahuan. Tidak mesti pertama-tama harus mengacu pada scientific formula. Intuisi atau feeling (rosa) politik sering lebih mendominasi judgement pengambilan keputusan yang dinamis.

Pertanyaan yang sering dimunculkan pengamat manajemen dalam kaitan ini ialah: Apakah keakuratan pengambilan keputusan pada saat-saat kritis ini dilandasi oleh dukungan panca indra keenam, ataukah hanya karena penguasaan ilmu dan pengalaman yang terakumulasi dari masa ke masa? 

Pada akhirnya dapat ditarik benang merah bahwa sebagai suatu fenomena tersendiri, keberhasilan manajemen Soeharto tak lain karena faktor Pak Harto itu sendiri. Teristimewa kemampuan beliau untuk secara efektif mensinergikan visi, nilai dan keberanian dalam proses penerapan manajemen yang diwarnai oleh seni memanajemeni yang canggih pula.

Yang menjadi pertanyaan ialah apakah calon pengganti pemimpin negara ini memiliki kemampuan untuk mempertahankan kualitas kepemimpinan seperti sekarang ini. mengingat tantangan masa depan yang lebih berat. Sebagai bangsa pejuang. kita tentu optimistis hanya dari perspektif manajemen, saya menganalisis bahwa selain WC. salah satu kriteria yang dibutuhkan oleh pemimpin masa depan ialah kemampuan yang tinggi untuk mengembangkan team work. Hal ini menjadi lebih penting. sekali lagi mengingat kompleksitas peluang dan tantangan yang dihadapi bangsa kita memasuki abad ke-21. 

Karena itu masalah suksesi memang wajar kita perhatikan dengan pikiran yang jenuh, dan dengan hati yang tenang. Setiap institusi, kesinambungan hidupnya ditentukan oleh efektivitas proses alih kepemimpinan dari waktu ke waktu. Prose ini umumnya lebih dikenal sebagai sirkulasi elit yang di Indonesia amat terencana dan teratur berlangsung dalam lingkungan organisasi ABRI, misalnya. 

Baca juga selanjutnya



Dalam konteks kepemimpinan negara yang besar seperti Republik Indonesia, masalah ini tidak saja crucial tetapi sangat sensitif secara politis, ekonomis, dan sosial. Strategi Pak Harto untuk tidak menampakkan calon-calon penggantinya menurut saya memang tepat, mengingat budaya dan kondisi sosial politik bangsa Indonesia dewasa ini. Namun demikian, saya memperkirakan pada akhirnya Pak Harto kembali akan mampu menampilkan calon penggantinya pada saat yang tepat. Dan. ini pun bagian dari Fenomena Manajemen Soeharto.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Cerita Asal Usul Batara Guru (Sang Hyang Manikmaya)

Kisah Cerita Asal Usul Batara Guru (Sang Hyang Manikmaya) - Batara Guru atau Sang hyang Manikmaya ialah putra Sang Hyang Tunggal dengan Dewi Rekatawati atau Dewi Wirandi, putri raja jin Prabu Yuyut di negeri Keling. Saudara Batara Guru adalah Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Antaga. Batara Guru mempunyai dua orang isteri yakni : Batara Guru Baca juga selanjutnya Kesaktian Beghawan Bagaspati Matinya Tokoh Wayang Bambang Aswatama 1. Dewi Umayi atau Umaranti, berputera enam orang yakni Sambo, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu dan batara Kala. 2. Dewi Umaparwati berputera Batara Cakra, Batara Gana/Ganesya (Mahadewa) dan Batara Asmara. Batara Guru adalah seorang raja dewa yang memerintah Tribawana yakni : Kayangan, Mayapada, dan Sonyaruri.

Cerita kehidupan Raden Bogadenta

Cerita kehidupan Raden Bogadenta - Bogadenta adalah termasuk keluarga Kurawa dia terlempar ke tanah seberang ketika dalam lakon Pandawa ditimbang dengan Kurawa sebelum Bima datang timbangan tersebut berat Kurawa, namun setelah Bima datang dengan melompati timbangan tersebut akhirnya keluarga Kurawa banyak yang terlempar jatuh di negara seberang.  Bogadenta Baca juga di bawah ini Dentawilukrama Raja Singgelapura Anak Keturunan Prabu Basupati Demikian juga dengan yang dialami oleh Prabu Bogadenta ia terlempar jatuh di negara Turilaya dan Bogadentapun menjadi raja disana. Tokoh ini mati dalam perang Baratayuda setelah bertanding dengan Bima, ia punya sanjata andalan yang ampuh bernama Kyai Wisnawa atau Wismana, tinggalan dari Prabu Bomanarakasura.

Cerita Gugurnya Prabu Arimba

Cerita Gugurnya Prabu Arimba - Arimba adalah raja negara Pringgodani setelah wafatnya Prabu Tremboko pada waktu perang pamuksa dengan Prabu Pandudewanata, dengan kejadian tersebut Prabu Arimba membara api dendamnya terhadap keturunan Prabu Pandu dan ingin membinasahkannya. Prabu Arimba Tetapi kejadian itu berkehendak lain, adik Arimba sendiri yaitu Dewi Arimbi telah jatuh cinta dengan Raden Werkudara dan pada akhirnya Prabu Arimba sendiri gugur ditangan Raden Werkudara, karena telah diberi tahu kelemahan Prabu Arimba. Baca juga selanjutnya Gugurnya Raden Antareja Mengetahui Kepribadian Tokoh Wayang Adirata Karena Prabu Arimba sakti mandraguna berkat keikutsertaan Dewi Arimbi untuk memberkan kelemahan kepada Raden Werkudara akhirnya bisa mengalahkan Prabu Arimba, pada akhirnya kerajaan Pringgodani diserahkan kepada Raden Werkudara yang akan menjadi Raja di Pringgodani, tetapi Raden Werkudara tidak mau dan dierahkan kepada keturunannya dengan Dewi Arimba ya