Suharto Menciptakan Pembangunan Nasional Cita-Cita Bangsa Indonesia - Pembangunan Nasional untuk melaksanakan cita-cita bangsa, yakni masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 45 bukanlah pekerjaan yang mudah. Pekerjaan itu memerlukan kerja keras, ketekunan, bahkan pengorbanan. Bangsa Indonesia memiliki potensi untuk mencapai cita-citanya dengan catatan bangsa yang besar ini harus mengerahkan seluruh kekuatan untuk menggerakkan seluruh lapisan dan golongan di dalam roda besar pembangunan. Pak Harto adalah salah satu contoh putra bangsa yang telah melakukan usaha tersebut. Dalam otobiografinya kita bisa menyimaknya, bahwa:
Suharto
"Saya tak ubahnya bangun dan mimpi dalam dunia pembangunan, tugas yang dipikulkan kepada saya. Di rumah saya berpikir tentang itu. Di kantor saya bertindak tentang itu. Di tempat-tempat yang kelihatannya santai pun saya merenung tentang itu".
Pada tahun 2003 Indonesia akan memasuki era perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara, dan tahun 2005 akan memasuki era perdagangan bebas di kawasan Asia Pasifik. Era yang tidak mungkin dihindari. Pak Harto telah mengagas akan munculnya era perdagangan bebas itu jauh-jauh hari, tatkala beliau mengambil keputusan Indonesia memulai kebijakan devisa terbuka dua puluh tahun yang lalu.
Bahkan sejak beliau berpidato tanpa teks di Pasar Klewer tahun 1971, di mana beliau juga telah mengutarakan gagasan pembangunan tahap demi tahap. Visi. itu adalah hasil dari upaya beliau untuk terus menerus memikirkan, melaksanakan, dan merenungkan pembangunan. setiap saat. Dan visi yang kuat dan tajam adalah ciri pertama prinsip-prinsip manajerial Pak Harto. Ketajaman visi ini diperkuat dengan intuisi yang sangat kuat.
Kedua, selain bervisi, beliau juga mampu merealisasikan. Secara khusus dapat dikatakan dalam strategi praktikal untuk merealisasi visi tersebut, beliau mengikuti kaidah-kaidah konstitusi yang berlaku, yaitu Pancasila dan UUD 45. Manajemen yang konstitusional ini membuat beliau sangat kuat, karena beijalan kepada peraturan yang telah disepakati bersama oleh seluruh bangsa. Dukungan secara legal ini juga menepis anggapan bahwa otoritas Pak Harto berlandaskan akan sesuatu yang bersifat mistis. Karena power yang dipegang oleh beliau didasarkan kepada sesuatu yang bersifat rasional-legal.
Ketiga, di dalam praktek manajemennya, Pak Harto mempergunakan kaidah-kaidah manajemen modem. Baik dalam arti management an sich, dalam bentuk melakukan planning. organizing, actuating, leading, hingga controlling, maupun dalam arti management of politics dalam bentuk menjalankan fungsi-fungsi "mesin politik" seperti input, throughput, dan output, serta memfungsikannya sebagai instrumen yang menjalankan roda manajemen politik Republik Indonesia.
Keempat, Pak Harto juga sangat sabar dalam menjalankan strategi manajerialnya. Perumpamaan Jawa alon-alon waton kelakon benar-benar dihayati, dengan catatan "kelakon yang berhasil dengan baik" sesuai ketentuan yang berlaku bukan hanya asal kelakon. Keberhasilan realisasi ini banyak ditunjang dari kemampuan beliau untuk menciptakan sistem manajemen yang tapi sampai ke detil, sehingga ibarat tidak ada satu celah pun yang tersisa.
Kelima, di dalam pelaksanaan manajemennya, Pak Harto melandaskan kepada budaya dan nilai-nilai budaya bangsa secara umum, dan budaya mayoritas secara khusus. Jadi profesionalisme Pak Harto dilandasi oleh kultur budaya nasional. lni antara lain terhhat dalam kaidah kepemimpinan yang dianut beliau, yaitu Hasta Brata, atau sosialisasi pohtik melalui bahasa dan medium yang paling akrab dengan masyarakat. Kesemuanya membuat banyak gagasan Pak Harto menjadi operasional dan mengalami relatif lebih sedikit konflik atau hambatan. Dalam bahasa ini manajemen Pak Harto bisa disebut manajemen yang kontekstual, karena mengacu kepada konteks di mana ia dioperasionalisasikan.
Keenam, Pak Harto dinilai bantak kalangap mampu mengakses dan mengalokasikan setiap sumber daya yang penting. ) Mulai dari sumber daya politik (kepartaian, lembagalembaga politik kelompok-kelompok kepentingan), sumber daya sosral (kelompok keagamaan, masyarakat pedesaan), ekonomi (kelompok-kelompok bisnis, pengusaha baik di tingkat lokal atau internasional), hingga teknologi (melalui kementerian Ristek dan BPlS). Dalam ilmu manajemen ini juga dibenarkan. karena sebenarnya hakikat manajemen adalah alokasi sumber-sumber daya untuk mencapai tujuan. Kapabilitas ini membuat Pak Harto lebih mudah diterima (acceptable) di berbagai lapisan dan golongan masyarakat. Ini membuat beliau lebih mudah untuk merealisasikan setiap visi pen bangunan bangsa.
Ketuiuh, keragaman dan kelengkapan kapabilitas pribadi Pak Harto sebagai manajer sekaligus leader, sekaligus dilengkapi lagi dengan kemampuan menguasai hal-hal yang makro (strategis) hingga yang detil di mikro (teknis). Ini adalah karakter pribadi yang khas, yang dilandasi dari kesediaan belajar di setiap tempat, di setiap wktu, kepada semua orang, kepada semua fenomena. Ini salah satu hal yang patut diteladani. Dalam keragaman kapabilitas tersebut, Pak Harto berhasil menjadikan manajemen dan kepemimpinannya bersifat watertight.
Di luar tujuh karakter utama manajemen Presiden Soeharto tersebut masih ada sejumlah karakter-karakter utama lainnya, namun karakter tersebut lebih bersifat kelebihan personal. Yaitu kecerdasan, pemahaman dan pengamalan yang mendalam akan agama yang dipeluk, yaitu Islam, kecendekiaan, ketenangan dan kontrol dir,. kesederhanaan, dan ini yang paling sulit untuk ditiru daya ingat yang begitu kuat, hingga ke detil, ke angka. Bahkan barangkali ada pula karakter khas lain yang tidak terangkum dalam buku ini.
Di dalam perkembangan kontemporer, sistem manajemen Pak Harto menghadapi berbagai tantangan-tantangan besar. Meneg Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja mengemukakan setidaknya manajemen Pak Harto menghadapi tiga tantangan. Pertama, kultur masyarakat Indonesia saat ini tidak lagi sama dengan kultur masyarakat Indonesia 20 tahun yang lalu.
Saat ini, dengan berhasilnya program pendidikan nasional, maka rakyat semakin terdidik dan semakin pandai. dan lebih menyukai transparansi. Karenanya semua pimpinan, di segala lim. mulai Bupati/Walikota hingga Menteri dituntut mereka yang benar-benar mempunyai kemampuan dan kualitas yang tinggi.
Kedua tantangan generation gap. Sebagai pimpinan puncak beliau mempunyai jarak yang cukup jauh dengan para pembantu, temiasuk para menteri. Dahulu generation gap antara Pak Harto dengan para menteri relatif tidak ada, bahkan pak Harto mengenal satu persatu para pembantunya secara personal. Masalah pertama adalah perihal perekrutan sumber daya manusia, Seperti dibahas di depan, bahwa di dalam manajemennya, Pak Harto mengandalkan kepada pembantu-pembantu beliau.
Jika masukan dari para pembantu. khususnya dalam perekrutan sumber daya manusia di dalam manajemen, tidak bagus maka keseluruhan sistem manajemen menjadi turun kapabilitasnya. Yang lebih membahayakan lagi apabila yang berada di dalam jajaran tersebut adalah para ABS (Asal Bapak Senang).
Di sisi lain. jika kesenjangan generasi ini tetap terjadi. dan mempunyai pengaruh dalam kesenjangan bahasa dan gagasan, bisa jadi visi yang digagas oleh Pak Harto tidak sampai ke pelaksanaannya. Tantangan ketiga, adalah semakin meningkatnya peran masyarakat, khususnya sektor swasta, sebagai akselerator pembangunan nasional.
Tantangannya adalah bagaimana semakin meningkatkan kemitraan pemerintah dengan masyarakat di dalam proses pembangunan kita. Namun. perlu digarisbawahi bahwa tantangan-tantangan ini lebih bersifat sistemik, dan bukan bersifat personal.
Baca juga selanjutnya di bawah ini
Tantangan bagi generasi muda berkenaan dengan Manajemen Presiden Soeharto adalah. bagaimana mereka mengkapitalisasi kemampuan manajerial Pak Harto. untuk dapat diserap dan diperkaya. sesuai dengan tantangan dan kebutuhan di masa depan, di dalam kerangka yang sama. yaitu mencapai cita-cita bangsa, membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Sebagai upaya melahirkan pimpinan-pimpinan bangsa yang handal untuk menghadapi tantangan masa depan.
Komentar
Posting Komentar